Di era saat ini, memperoleh informasi rasanya jadi sangat mudah. Segala informasi bisa didapat hanya dengan sentuhan jari. 10 tahun lalu, aku masih harus bersekolah dengan membawa tas ransel besar berisi buku paket, LKS, buku catatan, buku pr, dan berbagai keperluan lain termasuk bekal makan siang. Kalau dalam 1 hari ada 6 mata pelajaran, itu artinya akan ada 6 buku paket, 6 LKS, 6 buku catatan, 6 buku PR, alat tulis, alat sholat, bekal makan siang, payung atau jas hujan, bahkan baju olahraga. Bisa dibayangkan sebanyak apa benda yang harus dibawa ke sekolah. Belum lagi kalau masih membawa laptop, kamus bahasa, buku modul ektrakulikuler atau modul tambahan pelajaran persiapan UN, dan sebagainya. Tanpa ada pelajaran olahraga saja rasanya sudah berolahraga setiap hari. Sangat berbeda dengan saat aku melihat adikku dan sepupu-sepupuku bersekolah. Sebelum adanya pandemi, mereka lebih banyak mencari tugas melalui bantuan google. Tidak sibuk dengan meminjam atau membeli buku terbitan tertentu untuk mencari jawaban. Semua sudah tersedia di internet. Jika ingin mempelajari sesuatu seperti merawat tanaman, memasak, atau keterampilan lain bisa didapatkan melalui internet. Sangat berbeda dengan 10 tahun lalu dimana semuanya bergantung pada buku.
Dimasa yang serba mudah ini, aku akui jika intensitas-ku
dalam membaca buku cukup berkurang. Sebagian waktuku habis didepan layar
handphone. Terkadang aku juga heran, bagaimana dulu aku membagi waktu antara
sekolah, ikut ekstrakurikuler, bermain, belajar, mengaji, main ke warnet saat
pulang sekolah, main sepeda keliling komplek, main komputer atau menonton tv
tapi tetap tidur dan bangun tepat waktu. Semua rasanya cukup. Sekarang, aku sering
merasa waktu berjalan dengan cepat. “Aku belum selesai ini kok udah jam segini?”
Padahal waktu berjalan sebagaimana mestinya. Entah pergerakanku yang melambat
atau dunia yang semakin cepat. Terlalu banyak hal yang ingin aku selesaikan
dalam 1 waktu, mulai dari aktivitas pokok yang sudah pasti harus dilakukan,
sampai menonton video, drama, dan atau bermedia sosial. Have you ever feel
“kamu kudet kalo gapunya medsos”, “semua info terupdate sekarang ada di
medsos”, FOMO, atau perasaan tidak berharga dan dikucilkan kalau nggak punya
medsos.
Kalau diliat lagi, scroll informasi di dunia maya rasanya
tidak akan pernah ada habisnya. Apakah kita pernah scroll informasi sampai di
bagian terbawah dari instagram, twitter, youtube, tik tok, atau berbagai
platform lain? Yang ada malah menghabiskan daya baterai dan kuota intenet.
Selalu ada yang menarik dan secara tidak sadar kita menghabiskan terlalu banyak
waktu hanya untuk menatap layar. Begitu juga dengan informasi, sangat mudah
mengakses dan mencari informasi tentang hampir segalanya. Contoh, aku mengakses
informasi tentang digital marketing baik di media sosial maupun mesin pencari,
akan ada ribuan informasi tersedia disana. Sampai sampai karena terlalu banyak
informasi, aku sering bingung dengan mana yang harus aku simpan terlebih dulu?
Mana yang harus aku olah. Terlalu banyak informasi yang terkumpul, bingung
mau memilah darimana dan ujung-ujungnya energi sudah habis sebelum semuanya
selesai. Tetapi tetap saja masih merasa kekurangan informasi. Sebagaimana ribuan
tangkap layar di gawai yang sampai saat ini menumpuk entah untuk apa tapi aku
merasa semuanya penting tapi tetap saja hampir tidak pernah kubuka lagi. Aku
yakin bukan hanya aku yang begitu.
Terkadang aku merasa harus berhenti sejenak dari lalu lintas
dunia digital yang begitu cepat, sibuk, dan rumit ini. I need a break.
Membatasi informasi yang diterima dengan mengurangi akses media sosial memang
butuh usaha. Kebiasaan yang sudah tumbuh, butuh waktu untuk penyesuaian yang
baru. Mengurangi sedikit demi sedikit untuk mendapatkan jiwa yang lebih tenang,
tidak terburu buru, atau merasa tertinggal. Aku ingin berhenti sejenak dari melihat
keberhasilan keberhasilan orang lain, informasi berlebih, cerita hidup orang lain, dan
banyak hal yang seringkali membawa energi negatif, atau mungkin aku yang
menciptakan energi itu sendiri. Merasa kesal dengan pencapaian orang lain, iri,
terlalu ingin tahu dengan suatu hal, dan masih banyak lagi. Saat itulah aku
harus berkata “cukup” pada diriku sendiri karena aku harus mengolah emosiku sendiri. Mungkin akan ada saatnya aku akan
menceritakan apa saja yang aku lakukan dengan media sosialku dan perubahan
extreme apa yang aku lakukan disana. Kalau diingat lagi, media sosial adalah
salah satu platform yang pernah menjadi sumber perundungan yang terjadi padaku
beberapa tahun silam, hanya karena sebuah komentar “itu siapa?” di salah satu
foto grup kelas pada masanya.
Komentar
Posting Komentar