Langsung ke konten utama

Mbahkung

Hai,hari ini aku mau repost catatan bude di facebook

____________________________________________________
Pagi ini Bapak Jangan ke Masjid ya...

Ucapkan kata-kata itu kepada bapak saya, maka bapak saya akan marah, ‘Apa maksudnya melarang aku pergi ke masjid? Tak tahukah bahwa shalat berjamaah di masjid itu pahalanya luar biasa besar? Tak tahukah bahwa Rasulullah pernah mengancam akan membakar rumah orang-orang yang tidak shalat berjamaah di masjid?’


Coba, ucapkan kata-kata itu kepada bapak saya, maka bapak saya akan  dengan prihatin mengucap lirih, ‘Tak tahukah bahwa setiap langkah kaki kita ke masjid selalu dihitung sebagai kebaikan, dinaikkan derajat kita dan dihapuskan dosa-dosa kita?’

Ucapkan kata-kata itu sekali lagi kepada bapak saya, maka bapak saya akan menangis, ‘Mengapa kau tega melarang aku pergi ke masjid? Padahal malaikat membacakan shalawat dan mendoakan orang-orang yang shalat berjamaah di masjid.’

‘Tapi Bapak kan sedang sakit? Kemarin Bapak kan jatuh di jalan? Sebelum itu juga Bapak jatuh di gerbang masjid? Sebelumnya lagi Bapak juga pernah jatuh di gang sebelah waktu mau ke masjid? Bapak itu ke masjidnya masih terlalu gelap Paaak, orang-orang belum bangun, nanti kalau Bapak jatuh tak ada yang tahu, tak ada yang menolong…’ kata Ibu.

‘Aku ga jatuh, cuma kesandung. Bukankah setelah itu masih bisa melanjutkan perjalanan ke masjid? Masih bisa menuntaskan shalat shubuh di masjid?’ sergah Bapak.
Iya, cuma kesandung, tapi kan harus digotong orang-orang untuk menepi, harus istirahat sebentar sebelum kemudian sadar dan berdiri tegak kembali? Dan lihat, siku kemejanya kok ada darahnya? Pasti habis jatuh ga mau ngaku tuh…

‘Ya… tapi Pak… Mmm, atau begini saja Pak… Masjid Agung itu terlalu jauh, dari depan masjid sampai ujung gang saja 1 km, ditambah masuk gang beberapa puluh meter… Bagaimana kalau Bapak shalat berjamaahnya di masjid terdekat saja, atau di musholla dekat pertigaan?’ Ibu mencoba menawar.

‘Apanya yang jauh? Aku tiap hari jalan kaki ke sana, biasa saja kok…’ ya sudah, Ibu kehabisan kata-kata.

Suatu pagi sebelum shubuh, Ibu menelpon sambil menangis, ‘Tolong bilang ke Bapak, jangan pergi ke masjid pagi ini, tidak ada temannya. Tadi waktu Ibu larang, malah nangis, ‘Kalau aku jatuh dan mati dalam perjalanan ke masjid, kan enak?’ katanya. Tolong, katakan ke Bapak, jangan pergi pagi ini.’

Hmmm, saya harus bilang apa? Saya tahu mengapa Bapak senang pergi ke masjid, dan saya tahu bagaimana perasaan beliau jika dilarang pergi ke masjid. ‘Ya, ya, ya, baiklah, saya coba bilang ke Bapak. Tolong kasih hapenya ke Bapak.’

‘Pak, sudah siap ke masjid pagi ini?’ tanya saya.

‘Iya, kenapa?’

‘Apa ga sebaiknya istirahat dulu? Kan kemarin Bapak jatuh di jalan? Nanti kalau Bapak sembuh, bolehlah ke masjid lagi,’ saya coba merayu.

‘Kapan aku akan sembuh?’ Saya tahu maksudnya: apakah ada obat untuk penyakit ‘tua’?

‘Pak, masak iya sih, ada orang sakit ga bisa sembuh? Kan ada obatnya dari dokter kemarin? Dokter tahu apa yang bisa menyembuhkan Bapak.’ Saya diam, di seberang pun hening.

‘Pak… gini deh… Coba lihat Ibu. Ibu itu bermaksud merawat Bapak, memberi perhatian ke Bapak. Sampai nangis-nangis gitu meminta Bapak jangan pergi… Apa ga kasihan lihat Ibu?’

‘Ya, ya, baiklah… Aku tidak ke masjid pagi ini.’

Dan, seperti saya duga, semakin tidak boleh pergi ke masjid, Bapak merasa semakin sedih dan tak berdaya. Sampai pada suatu Jum’at, sepuluh hari setelah jatuh di jalan, kami datang berkunjung agar suami bisa menemani beliau pergi shalat Jum’at.

‘Gimana Pak? Tadi ketemu orang-orang?’

‘Iya, ketemu banyak orang. Masak mereka bilang, ‘Kok lama sekali ga ke masjid?’ Padahal baru tiga hari kan aku ga ke masjid?’ Ya, ya, ya, tiga hari menurut hitungan Bapak, sepuluh hari menurut hitungan saya. Saya menelan ludah.

Bagaimana ini? Anak-anak tinggal jauh di luar kota, tak ada yang bisa menuntun beliau berjalan ke masjid setiap Shubuh. Ya, harus dituntun, kalau tidak, maka beliau akan setengah berlari dan terhuyung-huyung. Kalau diingatkan, ‘Ga usah lari Pak…’ ‘Aku ga lari, ada yang mendorongku dari belakang.’

Terus bagaimana? Bapak tak mau berboncengan dengan tetangga sebelah, becak pun belum ada yang beroperasi di pagi buta. Sampai beberapa hari kemudian, Ibu mendapatkan seorang tukang becak yang mau menjemput dan mengantar pulang setiap shubuh, dan seorang lagi yang mau menuntun dan mendampingi setiap shalat Jum’at.

Alhamdulillah, untuk sementara masalah teratasi. Kata Ibu, Bapak lebih segar dan lebih ‘nurut’… Hmmm, tentu saja lebih ‘nurut’, kan hatinya senang?

____________________________________________________

Aku bisa membayangkan eyangti menangis karena mendengar kata-kata eyangkung. Aku saja yang membacanya tak sanggup menahan air mataku sendiri. Eyangti sayang sama yangkung, aku juga. Setiap kali aku ke rumah eyang, aku selalu disambut di depan pintu, lalu di ajak makan dan berbincang mengenai banyak hal. Yah, walau terkadang eyang sering menanyakan satu pertanyaan berkali-kali. Tak masalah.

Dulu, waktu aku masih kecil, yangkung yang ngajari aku nggambar. Bakat yang satu ini memang turunnya dari yangkung. semua anaknya yangkung mulai dari pakde, bude, papa, om, dan tante semuanya bisa menggambar, walaupun beberapa dari mereka terkadang beranggapan bahwa gambarnya jelek, padahal kalo dibandingkan dengan gambaranku aku kalah jauh. waktu kecil aku lumayan sering liburan bersama yangkung, dan hampir setiap lokasi yang berkesan atau menjadi ikon suatu tempat, pasti eyang akan menggambar dan cucu-cucunya yang mewarnainya, bahkan terkadang aku request minta digambarkan tempat atau benda yang aku sukai.

Selalu ada kertas di meja kerjanya (walaupun sudah pensiun dari perkebunan) dan diatasnya ada kaca yang dibawahnya berisi foto-foto kenangan. foto anaknya waktu kecil, foto keluarga anaknya, bahkan fotoku saat bayi ada di sana.

Mendengar eyang sakit dan sering terjatuh membuatku paham mengapa kedua orang tuaku mengajakku untuk pergi ke rumah eyang. aku ingin pergi dalam waktu dekat ini, tapi aku sedang disibukkan dengan ujian akhir sekolah try out dan menjelang UN. belum lagi kakak yang sibuk dengan pekerjaan barunya di akhir pekan.

Yangti dan Yangkung , kalian adalah orang tua yang hebat untuk ayahku, kalian adalah orang tua yang hebat yang telah berhasil mendidik ayahku hingga menjadi seperti saat inil, dan bisa mendidikku sebagai anaknya. dibalik anak yang hebat ada ibu dan ayah yang hebat, dibalik ayah dan ibu ada kakek dan nenek yang jauh lebih hebat.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baca Bukunya: Law of Attraction

  Aku sempat berbincang dengan salah satu teman di aplikasi whatsapp. Sampai pada satu titik, temanku bertanya tentang kegiatanku baca buku. Buku yang baru saja selesai aku baca adalah buku karya Michael J. Loiser dengan judul Law of Attraction. Dia tanya, isinya seperti apa?, dan seketika itu aku bingung bagaimana menjelaskan sebuah arti dari hukum ketertarikan. Aku memahami maksud dari Law of Attraction but it’s hard for me to explain about it. Jadilah kali ini kita bahas tentang hukum ketertarikan saja. Buku ini sebenarnya sudah ada dari tahun 2007, yaaa sekitar 13-14 tahun lalu. Aku pinjam buku ini dari pakde dengan tanda tangan tahun 2008. Jadi, dikeluargaku punya kebiasaan ngasih tanggal beli di buku, gatau kenapa. Why do i decided to read this book after years padahal aku nggak pernah tertarik untuk baca buku yang menurutku agak kaku dan sulit untuk dipahami karena dia adalah salah satu buku terjemahan (setahuku begitu). Baca buku terjemahan itu kadang lebih rumit karena...

Dear My Foreign Friends

I'm sorry, I was busy to finish the program but forget to having fun. I'm sorry that i didn't really know you. We spend a lot of time but i was busy on working. I know that i was too focus on the result. I may not good on expressing my feeling, but i want to know you more than this. I was jealous to those who easy to get along with you, but i am happy to know you. I'll remember you, even you may forget me someday.

What do i do after graduated from university

Pertama. Lega dan bingung saat dinyatakan lulus dari universitas. Lega karena berhasil menyelesaikan kewajiban kuliah dijurusan yang kupilih secara acak tanpa niatan untuk melanjutkan dan justru terjebak karena janji yang kubuat saat awal perkuliahan. Sedikit flashback, jurusan ilmu komunikasi adalah jurusan yang aku pilih secara mendadak di ruang pendaftaran. Kukira aku akan diterima di tempat lain dan nggak akan melanjutkan kuliah disana, ternyata salah. Aku berjanji pada diriku sendiri jika ip semester 1 ku diatas 3.5, aku akan bertahan sampai lulus dan mengurungkan niat untuk mendaftar di kampus lain tahun berikutnya. Nilai semesterku saat itu malah 3.98, aku sempat mem'bathin' "kok nggak sekalian 4 aja sih. nanggung amat kalo ngasih tau harus bertahan". Eehh,, tapi jangan tanya ya ip semester selanjutnya berapa, kayak flying fox.  Kedua, bingung karena merasa nggak punya tujuan. Muncul pertanyaan aku harus apa? Harus bagaimana? Aku mau apa setelah lulus? mau ke...